Ibu, Aku, dan Kenakalanku
Kehidupan ini sangat tidak adil. Di saat aku sedang menikmati keindahan dunia dan berusaha melarikan diri dari kepahitan. Di saat itu pula aku mendapatkan cobaan yang lain.
***
Bagi sebagian orang dunia itu indah, tetapi tidak bagiku. Meskipun akan ada banyak orang yang protes dengan pernyataan ini. Biarkan saja aku pun tak peduli. Berbagai cobaan datang silih berganti. Setelah sekian tahun berhenti dari kenakalan seperti; mabuk-mabukan, ngepil, dan berjudi. Aku kembali menjamah dunia itu lagi.
Baru dua bulan aku dipecat dari tempat kerja, karena pemangkasan karyawan baru. Kini aku harus menerima kenyataan bahwa bapak yang dulu menelantarkan aku dan ibu kembali ke rumah. Bukan dengan harta dan kemewahan yang selalu dibanggakan. Melainkan seonggok tubuh dalam keadaan memprihatinkan. Badannya lumpuh dan kakinya penuh koreng tak urung sembuh.
Sedangkan keluarga barunya tidak mau peduli. Ibu menerima bapak dengan ikhlas, merawat, dan mengurusnya dengan baik. Namun, tidak denganku lantaran rasa sakit hati itu masih ada sampai detik ini. Mengingat perbuatannya dulu membuat hatiku menutup pintu maaf. Perbedaan pendapat itu pun akhirnya menjadikan kami ribut dan bertengkar.
Dulu, karena bapak, aku sempat putus sekolah dan ibu dicemooh tetangga. Ibu pun harus bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan kami. Hal itulah yang membuatku semakin marah atas kehadirannya kini. Bapak yang tidak aku harapkan membuat suasana hati semakin kacau. Aku pun uring-uringan dan sering ke luar malam. Tentu saja aku melakukannya demi menghindar dari pemandangan menyebalkan di rumah.
Bersandar di pintu kamar, mataku mengamati ibu yang telaten menyuapi bapak. Dengan santai aku menghidupkan rokok dan berucap, “Buk, aku mau jalan. Minta duit.” Sudah selama sebulan aku tidak punya uang. Tabunganku ludes di meja judi, miras, dan marijuana.
Kepulan asap ke luar dari mulut, bapak terbatuk menghirup aroma rokok. Dengan sabar ibu mengelap mulut bapak yang menyemburkan air. “Bu, bagi duit dong!” teriakku kemudian sembari memutar bola mata karena jengah. Merasa kesal dan muak dengan sikap ibu.
Aku sebenarnya merasa kasihan dengan ibu, tetapi di sisi lain tak bisa berbuat banyak. Ibu selalu mengutamakan kebaikan kepada orang lain. Bahkan di saat keadaan sulit yang menghimpit. Aku bertahan dalam hidup karena ibu, tetapi kemunculan bapak membuatku kembali terperosok ke lubang yang dalam. Perasaan dikhianati dan tersakiti masih membelenggu hati. Meskipun berulang kali ibu mengingatkan untuk bisa ikhlas dan memaafkan, tetapi pisau yang melukai hati itu telah menancap sangat dalam.
“Mau kemana to, Le. Ini lo bapak lagi sakit, ya mbok kamu di rumah saja nunggu bapak,” pinta ibu, “Coba kamu mendekat ke sini, biar bapak bisa melihat wajahmu,” ucap ibu kemudian, tetapi aku acuhkan.
“Alaaahhh … ngapain sih, Bu. Ini kan yang laki-laki ini ajarkan dari dulu. Ibu kayak enggak pernah ingat. Dulu setiap malam dia selalu pulang larut. Bahkan di saat ibu sedang sakit laki-laki ini enggak pernah menampakkan diri,” umpatku kesal membuang puntung rokok di lantai dan menginjaknya.
“Heri, sudah to Le. Bapak kan sudah berubah.”
“Apa? Berubah, mana bisa laki-laki ini berubah, Bu. Udahlah Bu, jangan belain peselingkuh itu. Kenapa dia kembali ke rumah di saat sekarat. Kemana aja dia saat sehat. Aku mesti jalan sama temen ni. Cepetan bagi duit!” paksaku sambil membentak setengah tidak sadar. Seperti sedang kerasukan setan, karena pengaruh obat yang baru saja aku konsumsi mulai bereaksi.
Ibu mengelus dadanya pelan mendengar ucapanku dan berucap lirih, “Le, ibu enggak ada duit. Yang ibu punya ya untuk beli obat bapak.”
“Ngapain sih, Bu, pakai beli obat segala. Udahlah, biarin aja. Aku butuh duit ni buat traktir temen, sini uangnya.” Dengan sempoyongan aku mendekati ibu.
Aku merebut dompet ibu di atas meja dan mengambil isinya. Ibu mencoba menghalangi, tetapi tidak berhasil karena badanku lebih besar. “Heri! Her! Jangan dibawa semua uangnya, Le. Nanti ibu pakai apa? Hoalah, Le, jangan pulang malam dan mabuk-mabukan lagi, ya, Le. Ingat salat!”
Tanpa memperdulikan ucapan ibu aku langsung naik ke atas kipli, vespa butut yang selama ini menemaniku. Ibu mengikutiku sambil berlari pelan. Namun, Sono yang sudah sejak tadi menunggu segera menghidupkan kipli. Ia membawa kami melesat membelah jalanan yang mulai ramai dengan pasangan muda mudi berkencan.
Tiga puluh menit kemudian kami sampai di markas. Tempat yang biasanya kami
gunakan untuk bersenang-senang. Hari ini kami akan mengadakan pesta miras, obat-obatan, dan judi. Memperingati berdirinya klub.
Aku, Sono, dan teman-teman berteriak-teriak mengikuti irama musik. Seolah takada kenikmatan lain di dunia.
Di tengah hiruk pikuk musik dan sorak sorai orang yang sedang ngefly gawaiku berbunyi. Mulanya aku mendiamkannya. Karena aku dalam keadaan enaaakkk. Namun, akhirnya aku dengan malas mengangkatnya. Kemudian suara orang di sana menyebabkan kepalaku seperti disambar petir. Tetanggaku memberi kabar jika ibu meninggal keserempet motor saat pulang ke rumah setelah mengejarku tadi. Suara musik seakan lesap, pandanganku kabur dipenuhi memori ibu yang datang silih berganti.
***tamat***
Ya Allah, mengandung bawang. Kita ga pernah tahu, kapan orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita, jadi kalau bisa kita menunjukkan betapa kita menyayangi mereka, atau menyesal setelah terlambat
BalasHapusCeritanya begitu mengalir, walau pun tema cerita ini klasik, tapi cara mengemasnya bisa dikatakan asik. Bisa dikatakan kalau cerita ini mungkin masuk ke cerita berhikmah, cerita yang mengandung nilai moral
BalasHapusSuka sama gaya bahasanya. Ringan dibaca tau2 udah selesai aja. Kisah yang penuh hikmah. Dari cerita ini kita bisa belajar untuk selalu berbuat baik meski tidak diperlakukan dengan baik.
BalasHapuswah endingnya bikin jleb. inget jaman2 sekolah sering berulah ke ibu, akhirnya dapat hukuman dari Allah tanpa menunggu nanti
BalasHapusPoint of view yg menarik Walaupun harus berakhir pilu.
BalasHapusEnak banget baca ceritanya ><
BalasHapushikmah dari ceritanya juga langsung keserap huhu
Ending yang tak terduga 🥺
BalasHapusPerasaanku ikut teraduk-aduk baca ini. Hoalah tho le le.. Baru nyesel kan sekarang :'(
BalasHapusBiasanya saya kurang suka pov orang pertama. Tapi yang ini enak banget dibaca. Pesan dari ceritanya juga dapet banget! Keren bangeett *applause* sukses terus author! :)
BalasHapusAku bacanya deg-degan. Ga kebayang banget sama perasaan si ibuk, ya Allah
BalasHapusIbu selalu jadi pengingat ya..
BalasHapus