Bu, Aku ini Siapa?



Langkahmu lebar dan cepat. Sembari membawa raport kenaikan kelas. Senyum lebar dihiasi dua lesung pipi. Rambut hitammu yang dikepang dua melambai-lambai di belakang. Sesampai di rumah, segera berganti baju dan menemui Ibumu.


"Bu, aku juara tiga lo," teriakmu sembari berlari menghampirinya yang sedang bersantai di ruang tamu.


Melengos. Lirikan mata ibumu membuat jantung berdegup kencang. Aliran darahmu yang semula tenang kini mulai sedikit panas, menjalar naik ke seluruh tubuh. Mukamu memerah, sudut mata berair dan hidung memanas seolah mengeluarkan asap tipis. Senyum yang semula menghiasi wajah, dalam hitungan detik sirna. Rantai seberat 100 kg seolah membelenggu kedua kaki. Tiba-tiba udara semakin menipis dan sulit dihirup.


Melempar sapu ke segala arah. Ibumu mendudukkan diri di atas sofa. Matamu mengamati setiap pergerakan yang beliau lakukan. "Duduk!" perintah beliau dengan nada berat. Menahan amarah yang sudah meledak, di dalam sorot matanya yang merah dan ujung alis terangkat. "Duduk, dan berikan punggungmu padaku! Apa telingamu masih berfungsi dengan baik?" pungkasnya sambil mengeratkan gigi dan rahangnya.


Perlahan mendekat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dan rasa takut yang dalam. Kaos merahmu kini kusut. Remasan tanganmu begitu kuat. Menyalurkan rasa sakit karena ibumu  menghadiahi sebuah pecutan rotan di punggung ringkih. Yang dua hari lalu lukanya belum mengering.


Setetes air mata meluncur dengan cepat ke tanah. Disusul dengan tetes berikutnya yang semakin banyak disertai isak tangis. Suara rintihan itu tertahan. Kamu menggigit lengan kiri dengan keras. Lecutan di punggung terasa panas, menyayat, dan menguliti setiap jengkal kulit ari. Kamu pun tahu. Ada beberapa darah segar mengucur. Semilir angin yang menerobos celah jendela di samping meja teve menambah perih setiap sayatan yang ditimbulkan. 


Lima menit berlalu, ibumu baru merasa puas. Napas tersengal, mukanya memerah dengan ekspresi garang. "Pergi kau! Pergi dari rumahku. Dasar anak tak berguna. Kau tahu karena ulahmu, ayahmu meninggalkan ibu. Karena ulahmu dia pergi tanpa pamit. Karena kamu, aku harus menderita sendirian. Dan karena kamu aku harus mau dipermalukan," umpatnya geram. Nada bicaranya sangat berbeda sekali dengan yang biasa beliau lakukan lima tahun yang lalu.


***


Tubuhmu luruh di lantai kamar mandi. Pancuran air tidak dimatikan hingga airnya tumpah. Lantai kamar mandi yang dingin tidak membuatmu risih sama sekali. Luka di tubuhmu tidak seperih luka di jiwamu. Otakmu terus berputar menyalahkan diri sendiri dan mendorong air mata untuk terus tumpah. Tangis yang semula reda, kini berlanjut, hingga rasa capek dan kantuk menyerang. Gedoran pintu dari luar membuatmu geragapan.


Bersambung ...


***


#day-1

#30DWCJILID35

#FIKSI






Komentar

Postingan Populer