Jangan Lengah





Bel istirahat berdering nyaring. Murid-murid SD Anak Bangsa bersorak gembira. Beberapa dari mereka bergegas keluar kelas, pun ada yang menetap di kelas. Ada pula yang berlari ke arah kantin di dekat tempat parkir sepeda yang juga bersebelahan dengan kelas dua. Ruang perpustakaan di dekat ruang guru, tidak pernah sepi. Selain itu toilet yang letaknya di belakang gudang menjadi sasaran murid saat istirahat tiba. Taman bunga dan halaman pun selalu ramai digunakan sebagai tempat bermain. 


Lapangan sepak bola tidak pernah sepi pemain di saat istirahat. Sorak sorai penonton terdengar meriah. Di pinggir lapangan beberapa anak bermain damparan watu. Penonton berdiri agak menjauh. Karena permainan ini lumayan berbahaya. Mereka tidak disarankan terlalu dekat. Semilir angin sepoi-sepoi menambah suasana semakin nyaman.


Semua pemain bersiap dan melakukan hompimpa. Kedua kubu sudah dibagì dan permainan pun dimulai. Sorak sorai penonton kembali ramai terdengar. Namun, seorang murid tanpa sadar duduk terlalu dekat dengan batu gacoan. Napasnya terengah-engah karena baru selesai bermain sepak bola. Sesaat kemudian terdengar teriakan.


"Toniiii … awaaasss …!"


Sebelum Toni berhasil merespon panggilan itu, pelipisnya seperti terhantam sesuatu. "Aduuuhhh …!" Pekiknya. Tangan kanan Toni meraba kening, terasa sedikit berdenyut, basah dan aroma anyir darah tercium.


Teman-teman Toni berhambur mengelilingi. Berdesakan dan saling mendahului untuk melihat keadaannya. Desi teman sebangkunya berlari ke arah kantor guru dan ke ruang UKS.


***


"Minggir, minggir! Permisi …!" seru Desi. Satu persatu teman-teman yang masih mengerumuni minggir dan memberi jalan. 


Bu Silla meletakkan kotak P3K di atas tanah. Menarik lengan baju putihnya dan mulai memberi pertolongan pada Toni. "Tahan ya Toni, ini akan sedikit perih." Sembari mensterilkan pelipis Toni dan membungkusnya dengan kain kasa dan plester.


"Sudah. Sekarang kalian bubar! Masuk kelas masing-masing!" suruh Pak Darma, wali kelas Toni dan Desi.


Bel masuk kelas berbunyi. Semua murid kembali ke kelas masing-masing. Suasana dalam kelas 5 terdengar gaduh. Mereka terlihat panik dan takut. Apalagi Pak Darma belum muncul. Ketua kelas menenangkan mereka dan menyuruh mereka duduk. 


Suara pintu diketuk dari luar. Pak Didi memamerkan gigi putihnya, berjalan dengan anggun ke dalam kelas. Kepala Sekolah ini disegani anak-anak. Selain karena suaranya yang dalam dan berat, tapi juga karena wajahnya yang berjenggot tipis. Namun, sebenarnya beliau suka melucu dan pandai sulap. 


Senyum Pak Didi memudar melihat wajah mereka. Beliau tahu bahwa mereka khawatir dengan keadaan Toni. "Don, berhenti melotot pada bapak! Asti, jangan mengerutkan dahi! Nani, jangan dipilin lagi bajunya!" suruh beliau dengan suara kalem. "Kalian doakan Toni tidak apa-apa, ya. Pak Darma dan Bu Silla sedang mengantar Toni ke puskesmas, lalu akan mengantarnya pulang. Untuk sekarang kelas biar bapak yang ajar ya." 


"Horeee …!" Suara mereka serempak. Senyum bahagia menghiasi sudut kelas 5. Pak Didi mengambil buku di atas meja. 


Bersambung ...


***


#day-2

#30DWCJILID35

#CERNAK-FIKSI




Komentar

Postingan Populer