Jangan Biasakan Dirimu bagian 1
"Hey, tukang makan?" panggil seorang Kakak kepada adiknya.
Dengan tanpa beban adiknya pun menjawab. "Iya …."
Aku sedang ada di sana. Mendengar dan menyaksikan percakapan mereka. Spontan memalingkan tubuh. Merasakan telinga memanas dan wajah bersemu merah. Panggilan dengan nada penuh ejekan itu sudah aku dengar cukup lama. Rasanya mereka akan semakin sering berucap dan saling mengolok. Jika dibiarkan begitu saja. Hal itu membuat aku tidak tahan
Aku pun penasaran. Dengan apa yang si adik pikirkan. "Namamu siapa?" tanyaku lirih. Jantung ini sudah berdegup dengan kencang. Ingin rasanya berteriak dan marah-marah.
"Aiman," jawabnya santai. Sambil terus bermain video game dari ponsel di tangannya. Yang kemudian dimatikan untuk memperhatikan aku. Dia tahu kalau aku tidak suka apabila sedang diajak berbicara malah tidak memperhatikan.
"Masak? Aku tadi dengar Kakakmu memanggil dengan nama tukang makan. Bukan Aiman. Lalu kenapa kamu menyahut dan menjawab panggilannya?" Nada suaraku sedikit meninggi.
Sulit sekali menahan amarah. Meski bukan aku yang dirundung. Deru jantung semakin kencang. Rasa tidak terima menguar. Menyebar melalui darah ke seluruh wajah. Semakin panas dan terbakar. Seperti sedang tersulut api besar.
Si adik mulai terpojok dan tidak bisa menjawab pertanyaanku. Namun, dia masih ingin mengelak, membantah, dan berusaha membela si kakak. Sikap dan karakternya sekali lagi muncul. Ia lebih suka menghindari masalah dan ingin berdamai. Namun, aku tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Kali ini harus disampaikan. Sudah lama aku mendengar ucapan dan panggilan itu. Tidak ingin terus mendengarnya lebih lama.
"Apa kamu dengar tadi kakak memanggilmu dengan nama apa?"
"Ia aku dengar."
"Lalu kenapa kamu jawab? Kalau aku memanggilmu dengan sebutan yang sama, boleh, dong?"
"Ngak boleh," elak nya, "tentu saja nggak boleh." Ia kembali menekuni permainan game di ponselnya.
"Kenapa aku nggak boleh? Padahal kakakmu boleh?"
Komentar
Posting Komentar