Rasaku Padamu yang tak Pantas
Desain ilustrasi dibuat ileh Ana di canva.
***
Suasana pagi hari di kampus masih terasa lenggang. Aku berjalan menuju kantin untuk membeli sarapan. Kebiasaan yang aku lakukan selama lima bulan terakhir.
Soto, rawon, dan lontong sayur yang dijual di kantin membuatku rindu akan masakan mama. Sudah lebih dari 5 tahun beliau tak pernah pulang.
Setelah rawon pesanan datang aku menyantap dengan lahap. Tiba-tiba ujung mataku menangkap sosok yang tak asing. Perlahan aku menoleh dan benar saja rupanya ada Kakak senior.
Rawon yang tinggal beberapa suap pun terasa hambar. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Rupanya ada seorang cewek di samping kakak senior yang membuatku galau.
“Waduh, bisa enggak sih mereka langsung pergi dan enggak ngelihat aku?” Aku membatin sambil menunduk supaya tak terlihat.
“Woi, Binbin! Suka sarapan di sini juga?” tegur Kakak senior padaku.
Mukaku terasa panas, aku yakin pipi akan terlihat merah seperti tomat. Dengan terpaksa mengulas senyum dan mendongak karena telah tertangkap basah. Apalagi Kakak senior menepuk punggungku dan duduk di kursi depanku.
“Pagi Kak Paul,” sapaku lirih sambil mengangguk kepada Kak Prita. Keduanya memang digosipkan dekat dan berpacaran.
Namun, menurutku mereka cuma sebatas teman. Ahhh, atau mungkin cuma feeling-ku aja. Menurutku vibe mereka sama sekali enggak mirip orang berpacaran. Memang mereka dekat, tapi malah seperti saudara di mataku.
“Lah, ada Prita ini, lo. Malh enggak di sapa. Gimana sih, Bin! Mau gue kepret, lo?”
“Eeengngngak, Kak. Maaf. Pagi Kak Prita.” Aku tersenyum aneh pada Kak Prita.
“Apa sih, Ul! Udahlah, dia juga udah ngangguk kok tadi.”
“Ya enggak bisa gitu Prit, jari kebiasaan nanti. Bisa-bisa mereka ngelunjak.”
“Iya-iya. Udahlah kamu jadi pesan sarapan apa enggak? Kalau mau ribut aku tinggal nih.”
“Yaelah. Iya dong. Orang gue dari semalem laper tahu. Mana di rumah lo enggak ada makanan lagi,” ujar Kak Paul spontan kemudian mendapat sebuah cubitan di pinggang. “Apaan sih Prit. Sakit tahu pinggang gue!”
Aku yang tadinya mau menelan teh malah tersedak dan batuk. Kak Prita menyodorkan tisu yang ada di depannya. “Kamu enggak apa-apa, Bin?” tanyanya dengan lembut.
Aku menggeleng sambil mengelap mulut dan baju. “Duh, ternyata mereka beneran pacaran,” batinku berucap. Aku tersenyum garing melihat raut muka khawatir Kak Prita. Sampai jantungku berdegup lebih kencang. “Sial, aku harus cabut dari sini. Kalau enggak bisa-bisa mereka mengetahuinya.”
“Aku enggak apa-apa, kok, Kak. Aku pergi dulu, ya.”
Kedua seniorku itu mengangguk secara bersamaan. Sementara Kakak senior memakan bakso pesanannya yang sudah datang, Kak Prita menepuk punggung Kakak senior dengan keras. Sampai terjadi sedikit pertengkaran, tetapi aku tak bisa mendengarnya, lantaran jarak kami yang jauh.
Aku pun melanjutkan ke ruang kuliah dengan langkah tak bersemangat. Lantaran ucapan Kakak senior masih terngiang-ngiang di telinga. “Duh! Sial banget sih. Malah dengerin ucapan itu. Harapanku untuk bisa mendapatkan Kak Prita benar-benar tipis. Secara Kakak Paul ketuan BEM yang popular,” bisikku dalam hati.
***
Tetiba di rumah mood-ku pun masih belum membaik. Padahal aku sudah tahu kenyataan itu, tetapi ketika mendengar langsung tetap saja terasa sakit. Jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tetapi mataku masih 100 watt. Padahal di luar sedang hujan.
Langit seolah mengerti dengan suasana hatiku yang sedang galau hingga menurunkan nikmatnya agar aku bisa terlelap, tetapi apa daya. Nyatanya mata ini semakin mengembara.
Merasa susah tidur, aku pun duduk di meja belajar dan menulis puisi.
Dear My Secret Love
Hai dear?
Apakah kamu merasakan yang aku rasa di sana?
Ataukah cuma aku yang tak bisa memejamkan mata?
Malam sudah semakin larut
Mataku tak kunjung terpejam
Sayup-sayup terdengar bunyi rintik hujan
Gemericik air menimpa dedaunan
Menambah suasana menenangkan
Semilir angin sejuk menerpa badan
Menambah perasaan lebih nyaman
Kuamati langit-langit kamar yang temaram
Kusapukan mata mencari jawaban
Kenapa aku masih terjaga
Dan terus meraba
Dan tentu saja, kaulah jawabannya.
Dalam sepi malam penuh rindu, 12062023
Aku menutup diary dan kembali ke peraduan. Memejamkan mata dan berharap bisa segera terlelap dan memimpikannya. Untuk hari esok yang lebih bahagia.
Saat mataku sudah mulai meredup, sayup-sayup gawaiku berderap. Notif getar mode silent membuatku jengkel. Siapa lagi jam segini telepon. Apa dia enggak tahu kalau aku baru saja mau tidur. Sambil mengumpat, aku pun mengambil ponsel itu.
“Halo! Siapa, sih?” jawabku ketus, nomor enggak aku kenal menelpon di pagi buta.
“Halo Bin. Ini Prita. Maaf menelpon, subuh-subuh begini. Bisa minta tolong?”
Aku bergeming sembari mengumpulkan nyawa, karena si penelepon adalah Kak Prita. Seketika mataku kembali terbuka lebar dan senyum memancar.
“Bin! Halo Bin! Masih di sana, kan?” Suara Kak Prita dari seberang telpon membuatku tergagap.
“Ah, iya Kak. Mau bantuan apa?”
“Jemput aku di Bar n Cafe Serenade, ya, sekarang. Pleaseee!”
“Iya, Kak. Tungguin aku di situ, Kak.”
Aku pun mematikan telpon dan segera meluncur ke tempat Bar tersebut. Sesampainya di sana, aku melihat Kak Prita sedang menggandeng Kak Paul. Hatiku serasa jatuh ke dasar perut. Ada rasa mual tiba-tiba. Aku pun baru teringat, kenapa Kak Prita bisa sampai menelponku padahal dia tak menyimpan nomorku. Rupanya Kak Paul yang memberitahunya.
Aku tersenyum miring dan menjauh dari arah Bar. Namun, tiba-tiba aku berbalik arah dan menemui Kak Prita. Kak Prita tersenyum dan menyambutku dengan senang, sedangkan aku semakin merasa cemburu. Menahan rasa yang tak pantas padanya.
***End.
Jumlah kata 826
ODOP2023
OPREKODOP
Komentar
Posting Komentar