Cerpen: Pada Suatu Hari




Desain ilustrasi dibuat oleh Ana di canva.
***

Pada suatu hari, saat sedang jalan pagi di komplek rumah sakit Setia Kasih. Aku mendapat sebuah tamparan yang keras. Kejadian lama yang tidak mungkin terlupakan. Saat sedang menunggu Mas Hans pergi ke toilet, aku duduk di bawah pohon cemara. Menikmati udara bebas dan segar. Pagi itu genap tiga bulan pasca siuman. Mas Hans bilang, aku sudah dirawat lebih dari lima bulan pasca kecelakaan.


Tiba-tiba seorang wanita cantik menghampiri aku dan langsung menampar. Tidak hanya sampai di situ, aku juga didorong dengan keras hingga tersungkur ke lantai. Tubuh yang masih dalam masa pemulihan membuat aku tidak bisa berbuat apa-apa. Darah segar mengalir di lutut dan telapak tangan. Namun, wanita itu tidak peduli. 


Wajahnya familiar, tetapi tidak mampu aku kenali. Waniya cantik dwngan make-up tebal dan bibir berwarna hitam itu masih kesal. Hingga mengumpat dan memaki aku. 


"Wanita sialan, ingat anak dan suami dong. Jangan gangguin milik orang!"


"Maaf, Mbak. Dia itu …." Aku menghentikan ucapanku melihat wajahnya merah seperti kepiting rebus.. 


"Udah deh, jangan sok memelas. Air mata rubah seoertimu tak akan bisa mengelabuhiku." Sekali lagi dia berteriak, lalu mencondobgkan tubuhnya ke depan. 


"Maaf, Mbak ini siapa? Aku itu, dia, …." Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tatapannya beringas menusuk manik mata.


"Ir! Hentikan … apa-apaan sih, kamu?" teriak Mas Hans dari arah sebelah kanan. Aku menoleh, melihatnya berlari dan melompati pagar pembatas bunga di taman.


Wanita cantik di depanku pun sama. Dia mendongakkan kepala dan mengamati Mas Hans. Namun, wajahnya semakin keras. "Aku benci kamu, Mas," umpatnya lirih, tapi masih mampu aku dengar.


"Sayang, kamu nggak apa-apa? Ira! Kamu kanapa? Apa yang kamu lakukan pada Mbak Asih?" sembur Mas Hans. Namun, wanita yang bernama Ira itu bergeming dengan heran.


"Dia Ira? Adik Mas Hans yang sering aku dengar ceritanya itu?" batinku bergumam. Selama beberapa bulan aku hanya mendengar cerita tentangnya. Ira yang katanya menyayangiku dan mencitaiku seperti kakaknya sendiri.


"Mas. Mas tu yang apa-apaan. Meninggalkan Mbak Asih demi wanita ini. Siapa, sih, dia? Apa Mas lupa, kalau Mbak Asih sedang dirawat?"


"Ir, dia ini Asih. Mbak Asih, istriku. Kenapa kamu malah jahat sama dia?" 


"Mas, ingat dong. Mana mungkin dia Mvak Asih. Dia bukan Mbak Asihku Mas. Mas kok tega banget, sih?" Matanya memandangku penuh penghakiman dari kepala sampai kaki. 


Mas Hans meremas rambutnya setelah membopong aku dan memdudukkan di atas kursi. Lalu menelpon suster jaga. "Ira, nih lihat." Menunjukkan album di galeri. "Mbak mu memang lebih kurus. Tapi lihat foto ini. Sama, kan?" Yang ditunjukka  adalah foto SMA kami, di mana tubuhku masih kurus saat itu.. 


"Sayang, kamu ingatkan, dia Ira, adik mas, yang sering mas ceritakan sama kamu. Maafkan dia, ya?" pinta Mas Hans.


Entah kenapa ada sebagian memori yang aku lupa. Meskì 


Aku mengangguk, dan tersenyum memandang Ira. Dia masih kebingungan melihat perubahan tubuhku. Aku memang gemuk akibat pengaruh konsumsi obat depresan. Namun, kecelakaan itu membuatku harus diet dan menjaga pola makan. Sehingga tubuhku jauh berbeda, pun wajahku kini sangat tirus.


"Maaf, ya, aku memang masih lupa siapa kamu, tapi aku ingat Mas Hans punya adik. Dia suka makan semur jengkol," cerocosku begitu saja. Entah memori dari mana aku mendapatkannya. 


Wanita itu menutup mulutnya dan membelalakkan mata. "Mbak Asih? Jadi bener Mbak Asih?" Dia mengitari tubuhku dan berteriak gembira. "Aaaaa … ya ampun, Mbakkk … maafkan Ira, ya. Ira nggak tahu. Ira kira Mas Hans selingkuh. Mbak ngak apa-apa, kan?" terangnya dengan melompat-lompat seperti anak kecil mendapat permen.


"Makanya kalau di hutan jangan lama-lama. Jadi nggak tahu, kan, dunia luar. Lihat tu gayamu sudah kayak orang hutan dari Kalimantan aja," goda Mas Hans dan langsung mendapat pukulan di lengan. Kami pun tertawa bersama.



***


Jumlah kata 593

ODOP2023



Komentar

Postingan Populer