Cerbung: Laskar Dee Lestari Bersama Meraih Mimpi
Bab 2 : Pos-Pos Pendakian
Ana duduk di kursi paling belakang. Pandangannya menembus kaca bus, pikirannya melayang mengikuti semilir angin yang menerpa dedaunan. Ana terlihat tidak nyaman, apalagi setelah kedatangan Papanya di kampus tadi pagi.
Suasana di dalam bus tampak ceria. Beberapa peserta mendengarkan musik di gawainya masing-masing. Sebagian menari mengikuti alunan lagu yang sedang diputar oleh Pak Sopir. Pun ada yang saling berbincang dengan teman sebangkunya.
“Kak, ayo kita menyanyi sebentar!” ajak Tanjung setelah dia mendengar lagu kesukaannya.
Nenden, Fika, Alfida, dan Pristina menyetujui. Mereka pun berdiri dan mulai bernyanyi. Irama lagu Dynamite seolah menyihir mereka. Dengan begitu semangat menirukan syair-syairnya.
“Woi! Berisik tau. Bisa ngak kalian tenang?” ketus Ana. Nada bicaranya tak berubah, dingin, keras, dan datar.
“Apaan, sih! Gak asik lo, Ana!” jawab Tanjung.
“Iya nih. Kalau ngak mau dengar ya tutup aja kupingmu!” sahut Nenden, Fika, Alfida, dan Pristiana secara serempak. Ke-5 nya tertawa bersama.
“Dasar DeeLee. Ngak beradap.” Ana mengalihkan pandangan ke kursi belakang. Kemudian memutar bola mata dan mengarahkan tatapan ke seluruh bus. Ada rasa kesal dalam hatinya, tetapi mampu dikesampingkan. Dia pun memilih tidur.
Bus menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam. Tiga puluh menit kemudian bus berhenti di tempat parkir. Semua peserta mulai turun dari bus dan mengambil bagasi masing-masing.
Sebuah gunung berdiri megah di hadapan para peserta MAPALA dari Odop University. Wajah-wajah lesu sehabis tidur kembali cerah, mata mereka berbinar mengagumi kemegahan Gunung Oprek.
“Baiklah teman-teman, kita istirahat sebentar. Untuk yang mau ke toilet segera laksanakan. Dalam 20 menit kita kembali lagi berkumpul di sini dan kita ke pos pendataan!” seru Bu Nim memberi tahu.
“Siap, Bu!” jawab para peserta serempak.
Satu persatu peserta mulai sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ada yang ke toilet, musala, kantin, dan ruang istirahat. Pun para panitia sibuk dengan urusan dan tanggung jawab mereka.
Ana terlihat terburu-buru masuk ke dalam toilet dan menunaikan hajat. Dia berpapasan dengan peserta lain dari grup Dee Lestari maupun Buya Hamka. Namun, Ana bersikap sangat ketus kepada mereka.
Dua puluh menit berlalu, setiap peserta mulai kembali. Kak Siti dan Kak Thia terlihat sibuk memanggil satu persatu dari 20 orang yang berada di Laskar Dee Lestari. Tiba-tiba Kak Thia berteriak sambil berlari dari toilet menuju ke tempat Bu Nim.
“Ada apa, Kak Thia? Kenapa lari-lari?”
“Ini Bu. Laskar kita ada yang kabur sebelum berjuang!” seru Kak Thia. Seluruh Laskar Dee Lestari menoleh ke arah mereka.
“Yang bener, Kak! Jangan bercanda, dong!”
“Bener Bu Nim. Ini buktinya.” Kak Thia menyerahkan surat pengunduran diri dan bertanda tangan sebanyak lima orang.
“Oh, iya saya tadi lihat mereka di toilet, tapi tidak menyapa saya,” ucap Aulia.
“Yang tadi bubar itu, to, Kak?”timpak Pristiana kemudian.
“Iya aku juga lihat, Kak.” Purnari pun sempat berpapasan dengan mereka.
“Alllaaahhh, Laskar Deele Cemen kayak mereka itu enggak usah dicari. Mental mereka emang tahu, sih. Makanya gitu,” ketus Ana.
“Weeehhh, ya gak boleh gitu, Mbak Bree. Walau bagaimanapun kita satu tim, lo,” timpal peserta bernama dada Harir.
Zaki pun ikut berkomentar, “Waduh. Kalau kita kekurangan orang bagaimana dengan logistik kita?”
Semua peserta menggelengkan kepala. Para panitia berkumpul mengadakan rapat dadakan. Meski dengan berat hati, sungguh sangat disayangkan. Padahal para panitia telah berkorban banyak hal untuk acara pendakian kali ini. Namun, apa boleh buat toh pendakian must go on.
Meski dengan berat hati dan rasa kecewa yang dalam. Para panitia mengikhlaskan keputusan mereka. Sepuluh menit kemudian mereka menuju ke Pos administrasi untuk pembekalan dan pendataan.
Semua proses berjalan dengan lancar dan cepat. Tepat jam 12 siang semua peserta mendapat briefing ringan dari pos penjaga dan SAR. “Untuk itu teman-teman, mohon kesediaannya untuk memeriksa kembali barang bawaan seperti senter, air, dan makanan. Jangan lupa membawa kantong plastik sendiri dan mengantongi kembali sampah kalian. Jaga dan rawatlah kebersihan gunung kita.”
“Baik, Pak!” seru mereka serempak.
“Sekali lagi, dimohon untuk tidak mencemari lingkungan sekaligus sekitarnya.jangan pula berbicara kotor dan jorok!”
“Tuh, Ana. Dengerin, tu!” celetuk Sanik.
Ana membuang muka dengan cemberut. “Tahu apa, sih, DeeLe. Tutup mulutmu! Kalau kamu dan peserta lainnya ingin selamat!” ancam Ana.
Semua peserta menatap Ana dengan horor, pasalnya suaranya berubah menjadi suara laki-laki.
***
Jumlah kata 674
Komentar
Posting Komentar