Ayah Sari

 




Desain ilustrasi dibuat oleh Ana di canva.

***



Sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata. Jadi, ceritanya pernah ada, tetapi ada beberapa unsur yang dihilangkan atau ditambah. So, ini merupakan cerita fiksi based on true story.


***


Siang itu aku dan Sari pergi main ke rumah tetangga. Karena besok adalah hari libur dan tidak perlu belajar, aku pun mengajak Sari bermain ke luar.


Salahnya, kami tidak meminta izin kepada ayah Sari. Karena pada saat itu sedang pergi ke ladang. Kami hanya meminta izin kepada ibunya.


Selesai bermain, aku dan Sari pulang ke rumah. Naas, sesampainya di rumah Sari, ayahnya sudah menunggu di depan pintu. Sari turun dari boncengan sepeda. Aku pun tak berani pulang, karena ada rasa kasihan pada Sari. 


Benar saja, belum sampai di dalam rumah, Sari dimarahi. “Kamu itu! Jadi anak gadis ya mbok nurut. Dikandani ra keno. Dolan wae!” bentak ayah Sari. Matanya membelalak merah sambil menudingkan tangan. 


Sesaat angin seolah berhenti bergerak dan aku lupa bernapas. Sari berdiri mematung di halaman dan aku hanya mengamati di depan gerbang. Niat ku datang dan main boneka di rumah Sari pun tertunda.


Kembali terdengar retorika keras dari mulut ayah Sari. Kini, aku hanya bisa menunduk dan gemetar tak berani menatap Sari atau pun ayahnya. Sari terdengar terisak lirih. Pendengaranku seketika seolah tuli, ada bagian dari diri ini yang berusaha menghilang dari sana. 


Namun, ada beberapa kalimat yang masih mampu kudengar. Setiap umpatan dan sumpah serapah Ayah Sari aku abaikan.


“Pergi sana! Kamu bukan lagi anak, ku!” Suara Ayah Sari meninggi. Sebuah rotan diacungkan dan disabetkan ke udara. Kaget,, jiwaku seolah kembali menyatu. Reflek mataku memandang Sari yang sudah bersimpuh di kaki ayahnya.


Setitik air mata jatuh di pipiku. Aku ingin sekali membantu Sari kala itu. Namun, badan kekar ayahnya membuat nyali menciut. 


“Enggak mau! Aku masih mau tinggal di rumah!” rengek sari dengan suara terbata dan tangis sesenggukan. 


Sebuah kertas jatuh di atas kepalaku, reflek aku memandang Pak Gito dengan muka ketakutan. Pak Gito menatapku dengan geram. Untung saja dia tidak memukul Sari dan aku saat itu. 


Pak Gito memang terkenal galak, bahkan tak segan memukul anaknya jika melawan. Meski begitu, ia juga seorang yang dermawan. Aku sering dibelikan permen dan diajak jalan-jalan, karena  Ayah Sari juga merupakan Pamanku.


“Habis dari mana? Kenapa enggak bilang sama Pak Lik?” tatar Pak Gito padaku. 


Aku menunduk semakin dalam, meskipun biasanya Pak Gito sangat kalem padaku, tetapi sikapnya kali ini membuat ngeri. Aku berusaha menjawab, tetapi cuma terdengar lirih.


“Ayo bilang! Kamu habis bawa Sari dari mana? Apa enggak tahu kalau ibunxa sakit dan sekarang di rumah banyak yang terserang DBD?” tanyanya kemudian. Suara Pak Gito mulai melembut. Namun, aku masih belum bisa menjawab.


“Anu, Pak Lik,” jawabku sambil gemetar.


“Anu, opo? Kamu suka lihat Sari sakit? Kamu enggak lihat badannya kurus begitu! Pasti belum makan, kan?” 


Aku menggeleng. Kemudian menggenggam erat tangan dan berucap sekeras yang kubisa. “Kami sudah makan di rumah Bu Dini. Eko mengajak kami makan di rumahnya setelah bermain,” jelasku dengan terbata.


“Jangan diulangi lagi. Kamu tahu, kan, Sari itu sensitif sekali! Baru juga sembuh sudah kamu ajak main!” bengoknya.


Aku menunduk dan mengangguk. “Iya Pak Lik. Maafkan aku,” ucapku.


“Yo wes, pulang sana. Jangan keluyuran saja! Anak gadis enggak bantu orang tua, malah jalan-jalan saja!”


Tanpa berpikir dua kali, aku pun beranjak dari sana dan mengayuh sepeda. Sempat aku menoleh dan melihat Sari di rangkul bapaknya.


***

Jumlah Kata 550 

ODOP2023

OPREKODOP2023day23

Komentar

Postingan Populer