Anita
Gadis berperawakan kecil itu keluar dari kantor polisi dengan kepala tertunduk, meremas rambut cepaknya dan mengusap wajah dengan kasar. Menghirup napas dalam lalu mengembuskan dengan perlahan.
Ini bukan kali pertamanya dia harus masuk dan berurusan dengan yang namanya polisi. Namun, baginya hal itu sangat melelahkan. Dia harus menjawab pertanyaan interogasi dari mereka yang begitu panjang dan lebar.
Sejak dia SD dia kerap keluar masuk dari kantor polisi. Bukan karena ditangkap dan melakukan kejahatan, tapi lebih karena dia sering menemukan barang-barang penting milik orang lain.
Dia meminta bantuan pada polisi untuk membantunya mengembalikan barang tersebut. Bahkan polisi di sana sangat mengenalnya. Terlebih-lebih dia pernah di tuduh berbuat jahat dan menculik lansia, karena membantu membawa lansia yang lupa jalan pulang ke kantor polisi.
Dia juga pernah dilaporkan ke kantor polisi karena menemukan dompet seorang ibu-ibu yang dia temukan. Pada saat dia mengembalikan pada si pemilik dirinya malah dituduh pencuri.
Meskipun setiap kebaikannya tidak selalu berakhir dengan manis, namun gadis mungil dengan tinggi 149 cm itu begitu antusias dan tetap melakukan kebaikan hingga dia dewasa.
Menurutnya lebih penting baginya menjadi orang baik, dari pada menjadi orang penting. Hingga terkadang dia dijadikan kambing hitam karena kebaikan-kebaikannya.
“Anita! Ngapain lagi hari ini?” sapa Ali, teman Anita.
Anita memandang Ali dan menghampirinya. Ali duduk kembali menekuri kail pancingnya. Ia seperti sudah hapal jam-jam di mana Anita ke luar dari kantor polisi.
“Udah dapat banyak hari ini?” tanya Anita tanpa menjawab pertanyaan Ali.
“Tuman! Kalau ditanya pasti mengalihkan masalah, woi!” protes Ali, “ada tas ilang apa orang ilang? Dapat duit, gak, sih, kamu?”
“Duet mbahmu! Aku malah dimaki-maki sama cucune. Masak aku dibilang nyulik mbah lanangnya. Gila bener lelaki itu, tampangnya aja keren. Kelakuan nol!” oceh Anita.
Ali tersenyum miring, ia tahu sohibnya sedang bad mood. Setidaknya setelah itu Anita akan melupakan kejadian yang baru dialami dan bisa lebih lega.
“Gimana, lebih lega, kan?”
“Sumpah, pengen gur tonjok tu mukanya cowok brengsek itu. Masak dia maki-maki aku di depan Bripda Toto. Kamu tahu, kan, kalau aku naksir dia. Mana aku hari ini dandan enggak rapi. Bener-bener bikin muak tu laki.” Anita masih kesal dan sebal.
“Yo wes. Yuk, pulang. Mbakar ikan plus bakar amarahmu biar gak memuncak.”
Mereka pun akhirnya pulang bersama-sama.
***
“Kek! Awaaasss!” teriak Anita ketika hendak ke pasar dan melewati jembatan. Ia melihat seorang pria paruh baya hendak meloncat dari jembatan. Angin bertiup kencang, membuat pohon randu bergerak lebih cepat. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Anita berlari dan menyelamatkan kakek itu.
“Kakek, kenapa ada di sini? Kakek harus ikut aku, Kek!” bujuk Anita lembut.
Namun, Kakek Ibrahim bergeming dan meronta-ronta. “Aku mau di sini! Lepasin aku. Ini rumahk.”
Mata Anita seketika membelalak lantaran kakek yang baru saja ditolong merupakan kakek kemarin. Tanpa mau membuang waktu dan berurusan dengan cucu si Kakek. Anita segera membawanya ke kantor polisi.
Rupanya benar dugaan Anita. Cucu si kakek sudah berada di depan meja laporan. Sementara staf lainnya mencoba membantu.
“Kakek Ibrahim!” seru seorang petugas polisi.
Sontak seisi ruangan menoleh dan membuat Anita sedikit kikuk. Tatapan tajam cucu Kakek Ibrahim membuat Anita blingsatan. Anita ingin segela pergi dari kantor polisi, tetapi tidak bisa. Kakek Ibrahim menghalanginya dan mengajak Anita mendekat.
“Aku enggak mau pulang kecuali membawa dia!” seru Kakek Ibrahim pada cucunya sambil menunjuk Anita yang sedang sibuk.
“Udahlah, Kek. Kakek jangan aneh-aneh! Mana mungkin kita melakukannya. Dia bukan keluarga kita. Dia hanya gadis miskin yang membosankan.”
Namun, Kakek Ibrahim malah berdiri dan menghampiri Anita yang tengah memberi laporan. Sedangkan cucunya terus mengikuti di belakang.
“Nak, ayo ikut ke rumah Kakek. Akan ada hadiah untukkmu.” Kakek Ibrahim berseru sembari menggeret Anita tanpa mempedulikan cucunya.
“Kek! Tunggu! Jangan! Anita ikhlas. Enggak usah Anita senang bisa membantu.”
Tanpa peduli dengan ucapan Anita, Kakek Ibrahim membawa Anita ke dalam parkiran. Sementara cucunya menyelesaikan laporan dan mengikutinya dari belakang.
“Buka, pintunya!” sengit Kakek Ibrahim kepada cucunya.
Dengan ogah-ogahan mobil pun dibuka. Kakek Ibrahim mendorong Anita masuk dan beliau pun ikut. Diikuti cucunya sebagai sopir.
“Awas kau!” ancam cucu Kakek Ibrahim. Sampai membuat Anita bergeming dalam mobil.
Jumlah kata 662”
Komentar
Posting Komentar