Senandika: Duri Dalam Diri itu Adalah Aku





Desain ilustrasi dibuat oleh Ana di canva.

***


Cinta itu menyakitkan. Benarkah?


Aku sepertinya selalu terjebak ke dalam permainan cinta. Segala bentuk pengkhianatan atas nama cinta pernah aku rasakan. Sebut saja cinta orang tua, rupanya itu palsu. Mereka mencintaiku karena mereka menginginkan aku sebagai ahli waris harta orang tua kandungku.


Cinta sahabat pun palsu. Dia mau menjadi temanku karena aku selalu membawakan apa yang mereka mau. Cinta kekasih, tak ada beda. Dia pun menyukaiku karena aku mudah dipermainkan dan disuruh-suruh. Hingga stigma wanita penurut dan tak banyak tingkah melekat padaku tanpa diminta. 


Lalu bagaimana dengan cinta pekerjaan? Tentu saja sama, dengan semangat boss dan teman kantor pun mendekatiku. Dengan begitu semangat menyuruhku melakukan ini itu. Tugas apa pun dibebankan tanpa tahu aku sebenarnya kewalahan. 


Jika ditilik lebih dalam, semua yang terjadi merupakan kesalahanku. Yang mereka lihat, aku tak bisa menolak dan mengiyakan semua permintaan mereka. Tak berusaha mengatakan tidak meski cuma sekali saja. Selalu tersenyum menerima tugas dan menyelesaikannya sebelum masa deadline tiba. Itulah mengapa, duri dalam diri itu sebenarnya adalah diri sendiri. 


Padahal aku tidak seperti itu, semua terjadi begitu saja. Karena aku belum sempat menolak, tetapi mereka telah bertolak. Rasa frustasi dan ingin mengabarkan berita yang sesungguhnya melukai tidaklah mudah. 


Aku pun bertanya-tanya dalam hati.


Apa mereka sama sekali tak tahu? Atau hanya pura-pura tak mau mengerti aku. Aku tak pernah menolak, bukan berarti mau melakukan apa pun. Tak pernah bilang tidak, bukan berarti mengiyakan semua yang mereka mau. Mengiyakan satu tugas, bukan berarti setuju jika semua tugas dibebankan padaku. 


Namun, seolah berlindung dibalik nama cinta, mereka pun tiada henti menuntutku untuk sempurna. Tanpa peduli dengan semua kebenaran yang aku rasa. Asalkan aku, bisa melakukan apa pun yang mereka minta. Tak pernah menolak saat dimintai bantuan. Bahkan rela mengerjakan apa pun dengan sukarela.


Dalam mewujudkan keinginan mereka aku mengorbankan diri. Melupakan apa yang ku suka demi yang mereka suka. Menomorsatukan mereka mengakhirkan diri sendiri. Sejauh ini tak terhitung sesakit apa aku merasa. Duri-duri seolah meranggas dalam dada, mengambil alih kuasa.


Sempatku menangis dalam diam memendam lara di tempat yang dalam. Menyimpan sakit untuk diri sendiri dan mengunci rapat. Merasakan semua pergolakan yang tak sempat terucap. Menahan gempuran dari dalam yang meronta-ronta minta dilepaskan.


Namun, di sisi lain ada sosok yang baik hati dan memilih untuk berdamai. Merayu dengan sejuta kata yang mampu menenangkan jiwa. Meskipun diri tak terima atas perlakuan mereka yang tak memanusiakan manusia.


Naasnya, mereka kemudian marah dan meninggalkanku begitu saja saat aku tak bisa menyelesaikan tugas yang diminta. Memaki dan menancapkan duri-duri liar ke dalam rongga dada. Menjatuhkan diri dengan segala cara agar aku berubah haluan dan menyetujui mereka. Segala daya dan upaya dilakukan untuk membuatku menyerah. Segala aktivitas digalakkan untuk membuatku menyerah. 


Yang paling menyedihkan, mereka menghasut orang sekitar dan memfitnah sesuka hatinya. Mengkerdilkan setiap sikap yang dulu mereka puja. Menjauh dengan sengaja sebagai tanda aku tak ada guna. 


Meskipun begitu, aku tak akan pernah menyerah. Karena duri dalam diri sepertinya lebih kokoh dan telah tumbuh menjadi pohon berakar tunjang. Yang tak akan pernah sakit lagi, tak akan pernah kembali ke dalam masa dahulu.


Aku pun selalu berharap dan berdoa semoga tetap kuat dan bersahaja. Dalam kesakitan terus memegang teguh nama Tuhan Yang Maha Esa. Agar duri dalam dada tak merusak organ lainnya.

***

Jumlah kata 540


ODOP2023

OPREKODOP2023

Komentar

Postingan Populer