Ajaran Mama Sila





Aku bergeming di pojok ruangan mengamati mama yang sedang bahagia. Senyumnya lebar hingga menampakkan deretan gigi yang putih.  Mama menyandarkan punggung di kursi merah kesukaannya. Dengan fokus menghitung gaji karyawan bulan ini. Mama selalu memperhatikan para pekerjanya. Beliau enggak pernah membedakan antara buruh dan majikan.

Sengatan matahari siang ini tak mampu menembus jendela kamar. Sebuah tirai besar dan tebal mama bentangkan untuk menghalau sinarnya. Suara burung pipit menambah elok pendengaran.

Tiba-tiba mata mama mendelik kemudian berdecih, dengan cepat menurunkan kacamatanya. Sebuah berita sedang viral menggema di teve. Telinga mama terasa gatal setiap mendengar mengenai isu-isu Indonesia 2024. Mama benar-benar kesal, mengingat kedua anaknya yang semalam baru bertengkar. Gara-gara berbeda pendapat tentang politik. Reflek mengambil remot lau mematikan teve dan kembali melanjutkan kegiatannya.

“Pesta rakyat apanya? Belum mulai sudah memecah belah satu keluarga,” monolog mama lirih. Hatinya seperti teriris teringat kedua anaknya yang pergi dan belum pulang.

Aku mendekati mama dan berusaha menghibur, tetapi usaha itu gagal. Mama tak acuh dan malah berdiri dari tempatnya untuk membuka pintu. Angin sejuk berembus masuk ke dalam ruangan. Mama melambaikan tangan disambut lambaian dan riuh anak-anak yang  yang mengantre di depan “Omah Baca”. Mereka menunggu perpustakaan di buka.

Mama berjalan menghampiri dan mereka pun berebut untuk mencium tangan mama. Sejak awal mama membiasakan hal itu. Karena siapa pun yang tidak mau melakukannya maka tidak diizinkan masuk ke dalam. Setelah pintu dibuka anak-anak mulai masuk, menyebar ke ruangan dan mencari buku.

Tampak seorang anak laki-laki berjalan terburu-buru. Wajahnya merah berpeluh, napasnya ngos-ngosan. “Mama, aku mau ambil  buku transformasi digital yang kemarin dipesan sama abang!” bentak Derik, nama bocah itu. Suaranya yang lantang membuat anak-anak di dalam ruangan menengok ke luar.

Kegiatan mama adalah memesankan buku anak-anak dan menjualnya dengan harga lebih murah dari di toko. Selain  itu mama juga menjadi penjaga di perpustakaan kecil miliknya.

Mama tak acuh dan meneruskan membacakan dongeng  Si Kancil kepada anak-anak. Derik mengepalkan tangan dan mengeram kemudian kembali berteriak, “Aku mau ambil buku abang, Maaa!” Suaranya yang berlogat madura menggema bersamaan dengan robohnya pot bunga di samping tempat mama duduk.

Anak-anak mulai ketakutan, meskipun mereka sering melihat Derik berteriak-teriak. Akhirnya mereka berkumpul di pojok ruangan. Karena Derik berada di tengah-tengah pintu dan mereka tidak bisa keluar. “Anak-anak jangan takut, ya. Derik enggak akan macam-macam, kok,” hibur mama menenangkan. Namun, kemarahan Derik seperti tidak terkontrol. Ia semakin marah karena diabaikan. Ia pun duduk di depan pintu menghadap arah luar.

Tiba-tiba seorang anak perempuan datang dan menghampiri mama. “Assalamu’alaikum Mama Sila. Mama, sa mau ambil pesanan buku yang kemarin,” ucap Euke berlogat Papua Barat. Euke mendekat dan mencium tangan mama.

“Oh Euke, sebentar mama ambilkan,” sambut mama dengan riang. Mama menyerahkan buku berjudul transformasi digital dan menyerahkannya pada Euke.

“Kenapa Mama enggak adil?” teriak Bu Siro, dari jauh dengan tergopoh. Derik memegang tangan ibunya erat-erat. Seolah memberi dukungan agar memerahi Mama Sila. 

“Memangnya kenapa Bu Siro?”

“Kalau jualan jangan pilih kasih dong Ma. Masak gara-gara kami berasal dari Madura, bekerja sebagai buruh pabrik, dan berbeda suku dengan Mama, kami tidak dilayani dengan baik!”

“Oh, Ibu Siro marah karena itu?”

Derik mengangguk sedangkan anak-anak kembali menepi ketakutan. Mereka menjadi penonton.


“Ya iya dong! Masak penjual pilih kasih?” Bu Siro bersungut-sungut sembari mengepalkan tangan dan menuding mama. Aku sejak tadi bersiap-siap menerkam Bu Siro, tetapi mama melirik dan melarangku.

“Ya sudah, Bu Siro juga bisa membawa pulang bukunya, tetapi ….”


“Nah, gitukan enak. Aku enggak jadi marah!” potong Bu Siro sebelum ucapan Mama Sila selesai. 

“Iya sudah, tetapi Bu Siro bayar dulu utang lima buku kemarin dan harga buku ini!” tunjuk Mama Sila pada buku itu.

Wajah Bu Siro memerah, seketika ia tak berdaya. Mengingat gajinya dan suami sebagai buruh hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan makan dan bayar kontrakan. Seketika tangannya mencubit lengan Derik hingga ia meringis sakit.

“Lain kali,ya, Bu. Kalau mau mengambil apa pun atau saat sedang bertamu ke rumah orang itu, toloooong banget ajari anaknya sopan santun. Bu Siro juga harus menjadi contoh yang baik untuk anak-anak, lo, Bu. Ini bukan masalah gaji ataupun suku, ” tutup mama, mengakhiri ucapannya. 


Aku pun menggonggong ke arah Bu Siro menyetujui ucapan mama. Karena di mana pun kita berada maka kita harus tetap menjaga unggah ungguh dan etika.  

***

Jumlah 657kata

ODOP2023Day4

Komentar

Postingan Populer