Dee Lestari: Penyanyi, Penulis, dan Pengarang Lagu
Sumber foto www.pesona.co.id
***
Pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang” sekiranya cocok dengan yang saya alami. Nama Dee Lestari kerap hinggap dan mampir di telinga, tetapi tak pernah sampai mengulik lebih dalam. Meskipun saya sempat menyukai Dee ketika dulu menjadi penyanyi.
Namun, tak pernah mengikuti jalur kariernya setelah menjadi penulis. Karena sebuah tugas, beberapa hari ini saya mulai mencari berita dan informasi lengkap mengenai Dee Lestari. Semakin dalam saya mengetahui kiprah dan sepak terjangnya, semakin dibuat kagum olehnya. Sebuah perjalanan hidup yang luar biasa.
Masa kecil dan keluarga Dee Lestari
Dewi Lestari Simangunsong atau yang lebih dikenal dengan nama Dee Lestari, merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara. Dee terlahir di Bandung, 20 Januari 1976, dari pasangan bernama Yohan Simangunsong dan Tiurlan Siagian.
Dee mengatakan, bahwa kariernya saat ini terbentuk dari apa yang dilakukan sejak kecil bersama ke-4 saudaranya. Kakak pertamanya Bang Bung adalah seorang mantan pemain drumer, tetapi selanjutnya ia bekerja dibidang lain. Kakak ke-2, Kristin adalah seorang sutradara handal (yang mengarap film Lupus Milenia) dan penulis skenario film dan sinetron. Kakak ke-3, Imel adalah seorang pemain piano dan musik jazz sekaligus seorang penyanyi, dosen, dan arsitek. Adik bungsunya bernama Arina yang merupakan penyanyi dan vokalis dari grup band mocca.
Meskipun ayahnya bekerja sebagai anggota militer, tetapi keluarganya tidak kaya raya. Kendati demikian tak membuat Dee cepat menyerah. Karena dari keterbatasan ekonomi saat itu, Dee dan ke-4 saudaranya memulai berkreasi.
Dee membuat apa pun yang ada di rumah untuk dijadikan mainan. Seperti white board yang mereka sulap menjadi majalah dinding. Kemudian Dee dan saudaranya mulai menghambar, membuat kartu, dan membuat cerita.
Dee menulis cerita kemudian mengetuk pintu kamar saudaranya untuk membagikan hasil karya tersebut. Ke-4 saudaranya dengan senang membaca dan akan bertanya kapan kelanjutan dari cerita yang dibuat itu. Saudara Dee adalah pembaca pertama bagi karya-karyanya sejak kecil.
Sejak kecil Dee dekat dengan dunia musik, terlebih sang ayah merupakan pemain musik otodidak. Beliau juga seorang penyanyi, pemain piano, harmonika, gitar, dan pencerita. Dari beliaulah Dee mendapatkan bakat bercerita. Dee mengakui, bahwa ayahnya adalah sosok yang banyak bercanda dan demokratis. Hal itu sangat bertolak belakang dengan ciri khas suku Batak.
Sementara untuk masalah kesisiplinan, Dee banyak belajar dari sang ibu. Dari sang ibu pula Dee belajar mengenai ketaatan, terutama masalah agama. Setiap minggu ibunya selalu mengingatkan untuk beribadah dan pergi ke gereja.
Dee pernah menikah dengan seorang penyanyi bernama Marcel Sihaan di tahun 2003. Setahun kemudian dikarunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Keenan Avalokita Kirana. Namun, di tahun 2008 Dee menggugat cerai Marcel. Kemudian Dee berkenalan dengan Reza Gunawan, seorang pakar holistik di sebuah acara. Dari perkenalan itu kemudian mereka dekat dan menikah. Di tahun 2009 mereka oun dikaruniai seorang anak perempuan dan diberi nama Atisha Prajna Tiara.
Pendidikan dan karier
Dee lahir dan besar di kota kembang Bandung. Serta mengenyam pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi di sana. Dee bersekolah di SDN Banjarsari III Bandung, SMP 2 Bandung, SMA 2 Bandung, dan lulus pada tahun 1998 dari Universitas Parahyangan Bandung jurusan Hubungan Internasional dan bergelar Sarjana Ilmu Politik. Namun, Dee pernah bersekolah selama 2 tahun di Medan saat mengikuti ayahnya bekerja.
Sejak kecil di rumahnya sudah di budayakan membaca. Keluarganya bahkan berlangganan bermacam-macam majalah. Mulai dari majalah, koran, komik, buletin, hingga novel-novel Enid Blyton. Namun, Dee mengungkapkan bahwa dirinya lebih suka bercerita daripada membaca. Di samping itu, Dee juga seorang pelamun, yang mendedikasikan diri selama 2 jam untuk melamun sebelum tidur. Dia bebas melamunkan apa saja sampai-sampai ketika kelas 3 SD, Dee menjadi seorang pembual yang cakap. Bahkan tak jarang adik kelasnya menjadi korban keisengan ceritanya.
Karir Dee mencuat pertama kali dari sebuah grup musik trio. Kendati demikian, Dee aktif bermusik sejak kecil. Setelah tamat SMA di tahun 1993 Dee memulai karier bermusik dan menjadi backup song para penyanyi papan atas kala itu. Seperti Iwa. K, Java jive, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1994 Adi Adrian dan Adjie Soetama di bawah label Warna Musik, mengajak Dee Lestari dan Indah Sita Nursanti untuk membentuk trio. Kemudian bergabunglah Rida Farida atas rekomendasi dari Andree Hehanussa. Grup musik mereka bernama RSD yang diambil dari nama depan ketiganya.
Pada tahun 2003, Dee memutuskan untuk keluar dari RSD. Alasannya karena dia merasa enggak pengen lagi berada di panggung. Dari sana dimulailah perjalanan baru karier Dee di dunia menulis.
Dunia menulis dan karya tulisnya
Karya tulis pertama Dee berjudul Sikat Gigi merupakan sebuah cerpen, yang diterbitkan di buletin seni terbitan Bandung Jendela News Letter. Sebuah media berbasis budaya independen dan untuk kalangan sendiri.
Pada bulan Februari tahun 2001 Dee merilis novel pertamanya berjudul Supernova Ksatria dan Bintang Jatuh. Kemudian menjadi sebuah karya sensasional dan best seller karena berhasil terjual sebanyak 12 ribu eksemplar dalm 35 hari.
Pada bulan maret 2002, Dee menggaet seorang penerjemah bernama Herry Evelly dan menerbitkan Supernova 1 dalam bahasa inggris, untuk menembus pasar internasional.
Novel ke-2 berjudul Akar dirilis pada 16 Oktober 2002. Disusul Petir sebagai novel ke-3 pada Januari 2005.
Setelah menyelesaikan ke-3 novelnya tersebut, Dee sempat berhenti beberapa tahun untuk istirahat dan mengecas diri. Namun, di sela-sela itu, Dee tak tinggal diam. Beberapa karyanya berhasil terbit diantaranya pada tahun 2007, novelnya berjudul perahu kertas menjadi cerbung pertama yang dimuat secara digital yaitu melalui SMS dan laku keras. Pada tahun 2008 merilis Rectoverso, yang merupakan kumpulan dari 10 cerpen dan 10 lagu. Selanjutnya ada Filosofi Kopi yang merupakan kumpulan cerpen dan juga Madre.
Kemudian di tahun 2012 Dee kembali melanjutkan serial Supernova berjudul Partikel. Di tahun 2016 tepatnya 26 Februari Dee akhirnya menyelesaikan serial supernova yang diberi judul Intelegensi Embun Pagi. Sebuah karya memukau yang konsep awalnya berupa trilogi. Namun, pada saat menulis buku ke-2 memakan volume yang besar, maka pada akhirnya Dee melanjutkan tulisannya menjadi karya Hexalogi.
Di tahun 2018 Dee kembali merilis sebuah buku yang memesona berjudul Aroma Karsa. Yang menceritakan tentang Jati Wesi, seorang pembuat parfum yang hidup di bantar gebang. Lalu di tahun 2021 pada bulan maret Dee merilis buku terbarunya berjudul Rapijali. Sebuah naskah lama yang dulu dianggapnya tidak baik. Kemudian digali kembali karena merasa memiliki utang yang belum tuntas. Sampi akhirnya terbit di bulan Desember Rapijali 3 sebagai penutup serial Rapijali.
Inspirasi dari Dee Lestari
Setelah menyelami, memahami perjuangan, dan liku-liku hidup Dee. Saya merasa terinspirasi, apalagi Dee adalah sosok yang begitu luar biasa dan berdedikasi terhadap karyanya.
Bagi Dee, sebuah karya tulis yang selesai, apa pun bentuknya akan lebih bagus daripada sebuah karya bagus yang tidak selesai.
Ucapan itu seolah menampar saya. Karena selama ini saya lebih banyak memulai menulis, tetapi jarang menuntaskan tulisan itu. Tak lain dan tak bukan karena merasa draft itu sangat jelek.
Dee Lestari juga memiliki sebuah kebiasaan yang baik. Di mana kebiasaan itu dijalankan ketika dirinya memulai proses menulis. Dee memasukkan dirinya ke dalam “Bat Cave” sebuah istilah yang dibuat ketika akan mulai berproduksi.
Di saat itulah Dee memiliki “Morning Magic Routine” yang bertujuan untuk melatih otak dan badan agar siap menulis. Kegiatannya adalah lari pagi, mandi, sarapan, dan meditasi. Sebuah kegiatan yang membuat badannya lebih segar dan sehat.
Ketika menulis Dee juga terbiasa memberlakukan adanya deadline. Artinya dia mengharuskan diri untuk berdisiplin dan komit dengan apa yang akan dikerjakan. Sehingga Dee akan tahu kapan tulisannya selesai pada saat menulis di hari pertama.
Lagi-lagi seolah tertampar dengan keras. Di mana saya merupakan tipe penulis “anget-anget tahi ayam”, artinya awalnya aja menggebu-gebu, tetapi kemudian melempem dan layu. Yang berarti masih belum memiliki target, malas, kurang disiplin, dan tidak memiliki visi yang jelas.
Dari sini saya mulai merenung dan melakukan introspeksi diri. Berusaha untuk berjuang lebih dari yang pernah saya lakukan selama ini. Apalagi ketika Dee bilang, “Sebuah ide itu murah, yang mahal adalah eksekusinya”. Seperti mendapat tamparan lagi bertubi-tubi. Mengingat Dee yang begitu giat dalam melakukan riset untuk semua karya tulisnya. Sampai-sampai rela ke bantar gebang dan harus kliyengan saat mencium aroma di sana. Demi novelnya Aroma Karsa. Dee pun sampi rela disetrum untuk sebuah risetnya. Sungguh dedikasi yang mengagumkan.
Pengaruh Karya Dee Lestari
Sebagai pecinta literasi, rupanya baru sadar, bahwa saya tidak pernah membaca karya Dee Lestari sebelumnya. Meskipun pernah dengar kalau Dee menulis, tetapi tidak pernah berkesempatan mengulik karya-karyanya. Selain keterbatasan biaya, juga karena zaman dulu teknologi belum secanggih sekarang.
Jadilah ketika mendapat tugas untuk menuliskan biografi Dee, barulah mulai mencari karyanya. Untung saat ini zaman serba canggih, sehingga bisa meminjam buku lewat I-Pusnas. Karena tidak demikian di zaman dulu. Kalau tidak beli dan datang ke perpustakaan langsung maka tidak akan bisa membaca. Padahal rumah saya jauh dari yang namanya perpustakaan.
Namun, sebuah fakta lain muncul pada saat saya membaca karya Dee. Karya tulis berjudul “Rectoverso” , yang diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar dengan soundtrack ciptaannya sendiri berjudul ”Malaikat Juga Tahu” pernah saya lihat.
Pada saat melihat film itu saya merasa takjub, kagum, dan terharu. Bagaimana seorang penulis cerita bisa menemukan cerita yang di luar ekspektasi. Namun, saya belum tahu siapa pengarangnya. Hanya saja sangat menikmati film tersebut. Sampai pernah terpikir dan berdoa semoga bisa menulis cerita seperti itu. Alhasil waktu membaca bukunya, saya pun termehek-mehek.
Hal yang sama terjadi pada film “Perahu Kertas”. Film memukau yang membuat jatuh hati, tetapi tidak tahu siapa pengarangnya. Atau mungkin membaca, tetapi enggak ngeh pada waktu itu.
Setelah membaca cerita di “Rectoverso”, saya seolah tersemangati untuk membaca karya Dee Lestari yang lain. Apalagi bukunya bisa dipinjam di I-Pusnas. Selain itu, semangat dan dedikasinya terhadap dunia menulis membuat saya terpantik untuk lebih giat dan disiplin dalam menulis.
***
Sumber artikel deelestari.com. Youtube gita wiryawan. Wikipedia. Youtube Sephie Navita TV. Toutube Desi Ariyanti.
Jumlah kata 1431.
ODOP2023
Oprekodopday13
ODOPTANTANGAN
Komentar
Posting Komentar