Kebal Hukum



Ilustrasi dibuat oleh Ana di canva.



***


Aku berdiri di samping ibu yang terlihat gusar. Matanya merah memandang tak tentu arah dengan napas memburu. Suara mesin tik terdengar keras, sementara polisi di seberang tempat duduk kami berusaha menenangkan tahanan. 


“Enggak mungkin Nando melakukan kejahatan itu, Pak.” Mulut ibu pucat dan bergetar saat menjawab pertanyaan polisi. Beberapa kali  menyeka kening yang berkeringat.


“Semua bukti memberatkan anak ibu,” jawab polisi datar. Seolah tanpa rasa kasihan.


“Bu, aku enggak mungkin melakukan itu. Ibu harus percaya, Bu!” ucapku membela diri sambil memandang tajam. Namun, ibu tak mempedulikan seolah omonganku bualan semata dan terus menatap ke arah polisi.


Di depan ibu seorang polisi sedang mengetik laporan. Wajahnya tampak serius dengan pandangan tajam. Ketikan jarinya di keyboard terdengar cepat penuh penekanan. Membuat darah berdesir.


Aku menoleh ke samping kanan dengan geram. Panjul dan keempat temannya duduk termenung di kursi panjang di dekat dinding. Ayah dan ibu mereka belum datang. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam.Tangannya tidak diborgol, tetapi mereka cuma dijaga oleh dua orang polisi. 


***

“Dol, jangan lupa ambil tas kami di kelas selesai makan!” bentak Panjul sambil menggebrak meja kantin. Namaku Nando, tetapi Panjul sering memanggil dengan nama Dodol.


 Aku tersentak kaget dan tersedak, dua butir nasi ke luar dari lubang hidung membuat tenggorokan sakit. Buru-buru mengambil minum, tetapi Koplak meraih lebih dulu.


Suasana kantin seketika hening, pandangan mata tertuju ke arah kami. “Kamu dengar enggak Panjul bilang apa?” seru Koplak menjauhkan gelas yang ingin aku raih. “Apa lihat-lihat! Bubar!” bentak Koplak kepada siswa lain.


Semua siswa kembali beraktivitas, mereka tak mau ikut campur, suasana kantin kembali ramai. Tak ada yang berani dengan Pako and the gang (Panjul Koplak and the gang). Mereka seperti penguasa SMA Bakti Mulia. 


Selain karena ayah Panjul sebagai pemilik yayasan. Koplak juga merupakan anak juragan tanah terkaya di kota kami. Dengan properti seabrek.


Aku memelas kepada Koplak, menatapnya sendu agar air minum diserahkan, tetapi Koplak malah sengaja menumpahkan isinya. Aku pun  segera mengangguk menyetujui keinginan mereka. Kemudian dengan cepat meraih gelas dan meminum air yang tinggal separo. 


***

“Cepat Dol! Lelet banget sih!” teriak Koplak mengulurkan tangannya. Aku melempar tas mereka ke luar pagar sekolah. Kemudian menyusul mereka dan membolos bersama.


Sudah menjadi acara wajib bagi Panjul, Koplak, dan geng nya untuk membolos di hari senin. Hari ini mereka menargetkan untuk memalak anak dari sekolah lain. Mereka juga berencana untuk mencuri di toko dekat stasiun kereta. 


Aku sudah berusaha menolak, tetapi mereka terus meneror bahkan tak segan menghajarku. Operasi kali ini merupakan operasi ketigaku dan entah keberapa bagi mereka. Mereka tak merasa takut sama sekali dan selalu menyombongkan keluarganya. 


Pernah beberapa kali tertangkap karena mencuri, tetapi mereka selalu lolos dari hukuman. Akhirnya mereka merasa kebal hukum.


***


Tangan terasa gemetar membawa tongkat kasti yang diberikan Panjul padaku. Seorang nenek terlihat tengah menjaga warung kecil yang masih sepi di sebelah stasiun kereta. “Aku enggak mau malak nenek itu!” bentakku, tetapi panjul menghantamkan tinju ke wajah, hingga aku meringis kesakitan. 


“Lakukan atau kau mati di sini! Kau tahukan, kami kebal hukum. Woooi, cemen! Cepet!” ancam Panjul padaku. Koplak dan ketiga temannya tertawa bahagia. Mereka baru saja berhasil mencuri di sebuah supermarket.


Dengan langkah pelan aku berjalan menuju ke warung nenek itu. Belum sampai di sana, Panjul dan komplotannya menerjang langkahku. Mereka merampas uang milik nenek itu dan menghajarnya karena berusaha melawan.


“Kembalikan Panjul! Kembalikan uang nenek itu!” teriakku membela nenek itu. Aku merasa kasihan dan teringat nenek yang lama meninggal.


“Minggir Dodol! Ngapain kamu ngalangin kami. Cepet minggir! Plak, singkirno Dodol ki!”


Koplak berusaha menghalangi, tetapi aku memukulnya dengan tongkat kasti. Dia pun kesakitan dan dor suara peluru memekakakkan telinga. Bagian dadaku seolah terbakar. Koplak dan teman-temannya menunduk. Sekali lagi terdengar suara tembakan dan aku terkapar bersimbah darah.


***

Tamat


Jumlah tulisan 609 kata



Komentar

Postingan Populer