Renungan Jiwa: Kualitas Seseorang dapat Dilihat dari Bahasa yang Digunakan



Desain ilustrasi dibuat oleh Ana di canva.
***



Tulisan ini aku buat sebagai pelajaran untuk diri sendiri. Agar suatu saat lebih berani dan tanpa basa basi. Membela diri dengan penuh percaya diri.


Belakangan aku baru mengerti apa maksud dari ucapan teman karibku. Ia pernah berkata padaku bahwa, “Kualitas seseorang itu dapat dilihat dari pemilihan bahasa yang digunakan.”


Saat itu aku hanya mengangguk dan mengiyakan, tanpa tahu maksud dan artinya yang mendalam. Sampai pada suatu ketika aku pun mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan.


Siang itu aku ke luar rumah untuk berbelanja. Berkeliling pasar dan mencari bahan apa saja yang akan aku gunakan sebagai bahan masakan. Setelah keranjang belanjaan penuh, aku berencana pilang.


Namun, di saat aku melewati sebuah jalan. Aku melihat sebuah antrean panjang. Rupanya di sana ada sebuah toko sembako yang baru buka. Untuk menarik minat pelanggan sekaligus promosi, toko itu memberikan sebuah promosi. 


Banyak orang mengantre untuk membeli daging dengan harga murah. Seketika jiwa emak-emak yang selalu mempertimbangkan harga muncul ke permukaan. Tanpa banyak berpikir aku pun tergiur dan ikut mengantre di sana.


Karena antrean cukup mengular, maka aku oun harus berdiri di sana sekitar 20 menit. Sebuah antrean yang cukup lama apabila dihitung. Namun, tak membuat para emak-emak itu menyerah. Jangankan Rp 5.000; berbeda Rp 1000; pin dijabanin.


Terik matahari semakin meninggi, begitu pula suhu tubuh. Kulit mulai lengket karena keringat. Satu persatu antrean telah memperoleh daging pesanannya. Aku pun masih menunggu dengan sabar diguyur air keringat.


Tinggal satu antrean lagi adalah giliranku. Dengan hati berbunga-bunga dan senyum mengembang aku bersiap-siap untuk memesan. Bagaimana mungkin tidak bahagia, jika harga daging di sana dibandrol separuh harga. Padahal biasanya perlu merogoh kocek lebih dalam untuk satu kilo daging.


Apalagi beberapa jenis daging khas dalam yang  dijual di luar beberapa hari itu mengalami kenaikan harga. Seperti mendapatkan durian runtuh, aku pun selesai mengkalkulasi harga daging, jenis daging, dan berapa kilo daging yang akan dibeli.


 Di saat penjual daging itu menimbang dan menerima bayaran dari seorang ibu di depanku. Dengan tiba-tiba, seperti jatuhnya hujan tanpa mendung dan petir. Seorang wanita tua dengan tongkatnya, berjalan agak kesusahan datang mendekat dari arah kanan dan bersuara nyaring. “Aku mau daging iga sekilo, daging khas dalam dua kilo, dan daging cincang sekilo.”


Sedetik aku terdiam, melihat si penjual daging melayaninya dengan sabar dan telaten. Tanpa memperdulikan pandanganku yang mulai berubah. Dari mendelik, menganga, hingga mata memerah. Penjual daging yang masih terbilang muda dengan wajah ganteng dan oriental itu pun mulai memilih dan menimbang.


Seperti tersadar dari mimpi aku yang merasa geram dan menahan amarah pun berucap, “Gimana sih, Pak! Giliran aku dong. Ibu ini enggak antre, nyelonong aja diladenin. Enggak lihat apa yang antre pada kepanasan!”


“Ibu ini antre kok! Dia dari tadi di sini, lo. Makanya kalau antre lihat-lihat!” bentaknya, membuat jalur ular di belakangku yang tadinya ramai menjadi bisu. “Sabar dong kalau antre! Semua juga dapat bagian. Kalau enggak sabar ya mending pergi!” pungkasnya sengit.


“Ia, kok. Ibu itu tadi antre si sini!” 


“Udah, ngalah aja. Setelah dia kan giliran kamu!”


“Kasian dia sudah tua, udah biarin dia duluan. Yang muda ngalah!”


Mulai terdengar suara kasak-kusuk dari belakangku memberi pembenaran. Tatapan penuh penghakiman tertuju padaku.  Belum lagi suara-suara penuh ejekan terdengar samar-samar. Bahkan beberapa tudingan dilayangkan tanpa henti.


Aku merasa tidak terima kala itu. Degup jantungku benar-benar bertalu dan napas ngos-ngosan. Di saat mataku memerah dan gejolak dalam hati berada di ambang batas. Tetiba terdengar sebuah suara, “Sudahlah, kamu ingat, kan? Kualitas seseorang itu dapat dilihat dari bahasa yang digunakan.”


Seketika aku mengendorkan genggaman tangan,  menarik napas dalam kemudian mengembuskan pelan. Laun degup jantung berkurang, aku pun berucap terakhir kalinya,” Orang dia enggak antre lo, kok tetap dibela dan dilayani!” Sebuah ucapan yang hanya mampu aku ucap lirih. 


Hati seolah jatuh berceceran kala itu dan hanya bisa berdoa semoga usahanya tidak cepat gulung tikar. Dalam rasa kesal yang tertahan karena aku masih belum berani kembali berucap dengan lantang. Masih ada hal yang tak terucap dengan baik karena rasa takut dihujat.


Sebuah pernyataan bahwa, sejak tadi aku memandang semua pembeli yang antre di depanku. Satu persatu tanpa terkecuali. Aku melihat siapa yang datang dan pergi. Tentu saja nenek tua itu tidak termasuk di sana. Karena sudah jelas-jelas dia menyerobot masuk dengan PD-nya. 


Pedagang itu pun tanpa rasa bersalah bertanya dan menyiapkan pesananku. Awalnya aku ingin memesan beberapa kilo daging untuk berbagai kebutuhan, tetapi aku urungkan. Rasa amarah masih menyelimuti, aku pun pergi membawa setengah kilo daging. 


Dengan cepat aku pulang dan meluapkan semua keresahan dalam catatan. Meminta maaf pada diri karena belum bisa membelanya dengan lebih tangguh. Namun, satu yang pasti, diriku belajar banyak dari hal itu. Untuk suatu saat bisa bersikap lebih baik lagi. Ada hal berengsek di masa lalu yang kadang membuat kita lebih kuat di masa depan. So, apa pun masa lalu itu terus syukuri. Karena dialah kita ada saat ini.


***


Jumlah 800 kata

ODOP2023

OPREKODOP2023day19


Komentar

Postingan Populer